Follow Us @soratemplates

Monday, May 11, 2020

#1 - Mental Breakdown

Awalnya saya mencari-cari tempat untuk konsultasi secara online untuk suami saya, karena waktu belum memungkinkan untuk bertemu langsung dengan Psikolog. Hingga akhirnya kami mendapati ID Line yg katanya beliau ini lulusan Psikologi dari adik ipar saya. Saya suruh suami untuk memberanikan konsultasi. Tetapi karena dasarnya dia orang introvert jadinya tidak semua dia ceritakan, malahan saya yang cerita lebih lengkap ke beliau itu. Dari konsultasi tersebut, beliau mengindikasi bahwa suami stress akibat beban kerja dari senin-jumat, hingga menyarankan untuk calming di weekend :

Ketika Weekend 
Sabtu : istirahatkan tubuh, leha-leha di rumah, memberi asupan tenaga untuk fisik atau recharge physical energy 
Minggu : quiality time sama pasangan, dengerin musik yang menenangkan, menonton film, intinya recharge emotional energy

Merasa kurang berhasil, akhirnya saya diskusi dengan suami untuk pergi ke RSCM Polikinik Kejiwaan, ditangani oleh Psikiater. Itu semua pun saya yakini setelah bertemu sahabat lama saya, beliau sedang ambil spesialis di RSCM dan terkena mental breakdown juga, dia bilang dirinya benar-benar lepas, lega, setelah cerita sama Psikiater.

 
https://www.yahoo.com/lifestyle/what-it-feels-like-to-have-a-mental-breakdown-118135271467.html

17 Januari 2020 (Konsul I)
Setelah sebelumnya saya mau daftar lewat telpon, operator bilang untuk daftar secara langsung ke Poli Jiwa di RSCM. Kedatangan pertama kali kami kesana di hari Jumat, kami pikir akan sepi, ternyata Poli Jiwa ramai sekali. Batin saya terenyuh.. 
"Ya Allah...apakah tandanya penduduk Indonesia banyak yang mengalami mental breakdwon?"
Meskipun di satu sisi saya senang, orang Indonesia mulai sadar dengan kesehatan jiwa.
Sembari menunggu saya melihat pasien di sekitar kami. Ada wanita muda dengan ibunya datang kesitu. Wanita muda itu pun ditanya-tanya oleh Kakek yang sedari tadi ribut sendiri karena mengobrol dengan siapa pun yg duduk di sampingnya. Sedangkan si Ibu, duduk di samping saya.
Akhirnya kami berdua mengobrol, saya menanyakan dengan hati-hati, hingga Ibu itu cerita bila anaknya menderita Bipolar dan merupakan mahasiswi tingkat akhir di Fakultas Psikologi UI. 
Kembali batin saya menjerit, "Ya Allah...bahkan anak Psikologi pun bisa merasakan stress seperti itu, memang kejiwaan ini tidaklah pandang bulu"

Tibalah giliran suami saya masuk, di sekitar jam habis jumatan.
Dokter : coba ceritakan keluhannya apa yang dirasa...
Suami : saya itu merasa......blablabla....
Dokter : pernah kepikiran bunuh diri? dengan cara apa?
Suamo : blablabla...

Hingga tibalah sebuah kesimpulan sederhana :
Dokter : sepertinya saya menemukan "sebuah hubungan antara perilaku bos kamu dengan pola asuh kamu di masa kecil yang bikin trauma kamu tanpa sengaja muncul.."
Suami : (unpredictable, dia tiba-tiba menangis sejadi-jadinya, di depan orang lain selain saya) 
Sebuah kesimpulan yg tanpa kami sadari memang benar adanya, disitu saya cuma bisa menenangkan, memberi tissue, dan memberi minum agar suami bisa lebih relax.
https://pondokislami.com/cara-mendidik-anak-menurut-islam-sinopsis-buku-islamic-parenting.html/cara-mendidik-anak-menurut-islam

Suami saya diberikan resep obat untuk menenangkan jiwanya, dengan diagnosa sementara adalah Depresi. Kami disuruh kontrol setiap 2 minggu sekali, berarti dalam 1 bulan akan 2x control ke RS untuk dipantau perkembangan kesehatan jiwanya. Setelah kami menebus obat, kami langsung pulang dan berdiskusi tentang banyak hal.

Berikut ini background yang menyebabkan suami saya merasakan stress luar biasa di kantor barunya  :
Mulai dari jobdesc kerja yang tidak jelas, SOP yang tidak berjalan-bahkan tidak ada, manajemen yang bobrok, yang menyebabkan suami saya merasa bersalah untuk bertindak ini-itu dan seperti terjebak dengan income yang besar di perusahaan tsb. Keadannya dia sudah selesai probation (3 bulan kerja), namun saat itu dia sudah 6 bulan bekerja, tapi belum diberikan kontrak kerja. Kontrak tsb katanya sedang diproses untuk kontrak 6 bulan berikutnya (total 1 tahun dari masa probation). 

Suami saya ragu untuk tanda tangan atau tidak, padahal saat itu saya sudah bilang, "lepas saja, semakin cepat kamu lepas dari tempat tersebut semakin cepat kamu mendapatkan tempat kerja yang baru". Tapi suami tidak enak karena merasa men-zholimi istrinya bila hanya saya yang kerja. Hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk tanda tangan kontrak kerja 6 bulan ke depan (Juni 2020) karena kondisi saat itu banyak karyawan yang mulai keluar dari perusahaan tsb, jadi manajemen seperti kalang kabut untuk segera mem-bonded karyawan yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, saya seperti kehilangan arah. Bingung apa yang harus dilakukan. Karena saya tidak mendapatkan guideline dari pihak mertua bagaiman cara menghadapi temperamen suami yang semakin up and down akibat mental breakdown nya dan juga bonded yang agak jauh antara suami dengan orang tuanya, jadi mereka seperti menganggap remeh dengan gejala depresi yang sudah di diagnosa oleh Psikiater tsb.
Up and down kami lewati, kondisinya suami selalu mengeluh ketika sampai kantor, sedangkan saya di tahun 2019 kemarin sungguhlah kerjaan datang bertubi-tubi, overload hingga sering lembur karena tidak terkejar deadline submission bila tidak dicicil dengan lembur. Saya butuh konsentrasi yang tinggi tapi tidak bisa karena kepikiran suami. Kalau pepatah bilang, jangan bawa urusan pribadi ke kantor, tapi itu sungguh amat sulit di posisi saya dan di keadaan kemarin itu T_T

Sungguhlah pegangan saya saat itu hanyalah Allah semata dan juga dukungan dari orang tua (mama terutama) serta teman kantor yang memberikan saran sebaiknya seperti apa dan saya harus bagaimana. Semua itu menjadikan saya kuat, meski dengan air mata yang banyak pula karena dengan cara menangis stress saya bisa release... :")

https://www.spiritbutton.com/depressing-depression-quotes/

No comments:

Post a Comment